Jam dinding yang tergantung di tembok kamar
kontrakan yang aku tinggali menunjukan pukul 11.30 malam dan aku sendiri
terpaku menatap layar monitor komputer di hadapanku, lampu kamar kubiarkan
padam dan kuganti dengan lampu belajar yang redup warisan dari kakak. Lagu-lagu
Iwan Fals yang ku-stel mengalun mengisi kelengangan suasana, menemani asap yang
mengepul dari sebatang rokok kretek dan sahabat sejatinya: secangkir kopi hitam
kental yang menunggu untuk kuhirup. Entahlah, tetapi suasana seperti inilah yang
membuatku merasa menikmati kedamaian di tengah segala kegalauan hati dan perasaan
muak yang tidak tertahankan,
muak pada segalanya bahkan rasa muak pada diriku sendiri. Suasana seperti ini
pula yang membantuku untuk sejenak mengundurkan diri dari hiruk pikuk kehidupan
yang kurasakan selalu
dan terasa semakin menyudutkanku ke
pojok yang paling sempit, pengap, dan gelap.
Sejenak kedamaianku terganggu. Terdengar suara pintu
kamarku diketuk dari luar, seorang
teman datang untuk meminjam jaketku,
kelihatannya ia mau pergi dan aku tahu kemana orang macam dia pergi
menghabiskan malam;
dugem di diskotik,
atau menghabiskan waktu dengan mabuk dijalanan, suatu hal yang pernah aku jalani dulu.
Ah, aku tak peduli. kuberikan jaketku
dengan cepat dan segera ku usir dia keluar kamar.
Aku mengutuknya dalam hati, seolah dia tidak tahu bahwa aku sedang menikmati damainya
suasana.
Sementara itu Iwan masih mengalunkan lagu – lagunya,
kumatikan api rokok diatas asbak, aku berbaring dan pikiranku kembali
menerawang. Langit- langit kamar yang kupandangi lama kelamaan pudar berganti
dengan bayang- bayang perjalanan hidupku yang kini aku kutuk, kemudian muncul
wajah ayah dan ibu yang selalu menyayangiku walaupun kesalahan- kesalahan yang
aku lakukan pada mereka sungguh tak termaafkan. Sungguh, kasih sayang yang
mereka berikan tak pernah berkurang.
Mungkin semua orang tua akan bersikap sama seperti mereka. Anak yang dulu lahir
dari buah cinta kasih mereka, anak yang mereka besarkan dengan segenap kasih
sayang dan cinta yang suci, anak yang mereka banggakan, dimana mereka
gantungkan harapannya. Harapan yang sebenarnya bukan untuk mereka, melainkan
untuk kebahagiaan si anak sendiri. perlahan
kuusap pipiku yang tiba- tiba terasa hangat oleh air mataku yang menetes. Aku merasa menjadi seorang pengkhianat yang kejam, aku
merasa seperti malin kundang, aku merasa seperti anak paling durhaka di muka
bumi.
“maafkan aku ibu, ayah” bibirku bergumam tanpa
kusadari. Air mata yang sudah lama tak kukeluarkan tiba- tiba mengalir tanpa
bisa kubendung, lagi, ku kutuk diriku yang cengeng. “Aku seorang lelaki,
tak patut mengeluarkan air mata!” aku
mengutuk diri sendir. tapi semakin ku tahan
semakin deras pula air asin yang mengalir
dari mataku. Akhirnya aku menyerah, kubiarkan diriku terisak di tengah malam
buta. Aku tak peduli seandainya saat ini orang lain mendengar dan melihatku
menangis seperti bayi dan aku tak peduli jika kemudian mereka menertawakanku.
Lama aku menangisi diri sendiri ketika akhirnya air mataku surut. Kuambil
sebatang kretek dan kusulut, merahnya bara api tertutup oleh asap yang
bergumpal, aku terbatuk. Tanganku bergerak menggapai cangkir kopi dan kuhirup
isinya perlahan, pahitnya kopi berbaur dengan pengapnya udara kamar. Kurebahkan tubuhku kembali menatap
langit kamar, jam dinding menunjukkan padaku bahwa hari telah larut dan tanpa
terasa aku pun tertidur di lantai kamar yang dingin…
Bersambung.........